Selasa, 25 Februari 2014

Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dan HAM di Indonesia


BAB I
PERANAN NILAI-NILAI PANCASILA
1.      Nilai-Nilai Pancasila
Pancasila di dalamnya mengandung nilai-nilai universal (umum) yang dikembangkan dan berkembang dalam pribadi manusia-manusia sesuai dengan kodratnya, sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.
Sebagai suatu sistem nilai Pancasila bagi bangsa Indonesia memiliki keunikan/kekhasan, karena nilai-nilai Pancasila mempunyai kedudukan/status yang tetap dan berangkai. Keunikan ini disebabkan, karena masing-masing sila tidak dapat dipisahkan dengan sila lainnya. Kekhususan ini merupakan identitas bagi bangsa (negara) Indonesia.
Bahwa disadari, nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai universal, pada bangsa lain tidak dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh sebagaimana bangsa Indonesia. Di sinilah letak perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa lain. Dengan demikian perbedaannya bukan terletak pada sikap ramah tamah, gotong-royong dan lain-lain, tetapi terletak pada pengamalan/penerapan nilai-nilai Pancasila tersebut. Pancasila merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka itu penerapannya ditumbuhkan dan dikembangkan tanpa paksaan melainkan atas kesadaran diri, merupakan panggilan hati nurani (ditimbulkan dari dalam).
Pancasila membangkitkan kesadaran akan dirinya atas pengembangan tanggung jawab pribadi terhadap kehidupan masyarakat dan sebaliknya, serta menimbulkan kesadaran dan kemauan untuk senantiasa dapat mengendalikan diri dan kepentingan, agar tercipta keseimbangan, keselarasan dan keserasian kehidupan masyarakat atas dasar kesadaran hukum yang berlaku. Hukum, perilaku manusia, dan masyarakat haruslah ditujukan atau terpusat pada perwujudan nilai-nilai luhur Pancasila, sehingga baik manusia maupun masyarakat sikap dan perilaku timbul atas dorongan sebagai kesadaran hokum untuk mewujudkan kehidupan sejahtera dan bahagia dengan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila dari segala implikasinya.

2.      Memahami dan Menghayati Nilai-Nilai Pancasila
Pandangan hidup suatu bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan kesediaan untuk mewujudkan di dalam tindakan, sikap, perilaku hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia tidak dapat tidak kristalisasi nilai-nilai tersebut adalah yang terdapat di dalam Pancasila, di mana sila pertama Ketuhanan YME merupakan nilai inti dan nilai sumber, masing-masing saling menjiwai dan meliputi.
Nilai ketuhanan yang merupakan nilai inti dan nilai sumber sebagai kriteria dapat memberikan upaya dan usaha manusia dalam:
a.       Investasi nilai.
b.      Filter tindakan manusia.
c.       Memberikan kendali kepada manusia.
d.      Sebagai pengarah (orientasi) pada manusia.
e.       Sebagai pendorong (motivasi) bagi manusia.
Atas pandangan tentang nilai-nilai dan nilai sumber tersebut, maka akan diharapkan manusia yang bertakwa, memperlakukan manusia secara manusiawi atau insane, kekeluargaan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian.
Pandangan hidup suatu bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara mengandung nilai-nilai:
a.       Nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan.
b.      Nilai ideal, nilai material, nilai spiritual, nilai pragmatis dan nilai positif.
c.       Nilai etis, nilai estetis, nilai logis, nilai sosial dan nilai religius.
Nilai yang terkandung tersebut pada kenyataannya dapat berlaku umum (universal), dan akan bersifat khusus apabila dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai universal (umum) berlaku bagi semua manusia dan bangsa (negara) tanpa ada batas-batas tertentu, sebaliknya nilai-nilai khusus berlaku hanya untuk bangsa Indonesia (nasional). Nilai-nilai universal (umum) tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 dan secara khusus dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 dalam pasal-pasalnya. Bahwa tidak kita pungkiri lagi setiap manusia dan bangsa (negara) di dunia ini memiliki nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Perbedaannya hanya terletak, bagi bangsa Indonesia nilai-nilai tersebut berlaku utuh, menyeluruh, senafas, sejiwa dan totalitas, sedangkan bagi bangsa (negara) lain tidak demikian halnya.

3.      Pengamalan Pancasila
a.       Perjuangan Kemerdekaan
Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia sama tuanya dengan penjajahan itu sendiri. Proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik kulmunasi dari perjuangan itu sendiri, di mana kita dapat mengambil “nasib” di tangan sendiri. Kemerdekaan adalah jembatan emas, dan di seberang jembatan tersebut kita mengisi kemerdekaan dengan jalan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pengamalan Pancasila. Dalam hal ini dengan sendirinya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nasional (pembangunan nasional) mewarnai segala aspek pembangunan dan kehidupan nasional.
Selama kurang lebih dua dasa warsa (1945-1965) penerapan nilai-nilai Pancasila tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Pada masa itu timbul revolusi fisik, timbul berbagai gejolak daerah, pemberontakan, masuknya liberalisme yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Akibat liberalisme, menimbulkan partai-partai yang lebih mengandalkan ideologi partai daripada kehidupan nasional. Pemerintahan tidak stabil, pemerintahan menjadi lemah (prematur), sehingga pembangunan tidak berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Masa itu kita kenal dengan masa Orde Lama.
Timbul puncaknya pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Tragedi nasional ini disebut peristiwa G30S/PKI.
Selanjutnya memasuki masa Orde Baru, orde pembangunan. Orde Baru melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pembangunan sebagai pengamalan Pancasila sejak Orde Baru dengan dimulai dari PJP I sebagai Kebangkitan Nasional Pertama.
PJP I berakhir dan merupakan awal PJP II (1993-2018) sebagai Kebangkitan Nasional Kedua, yang ditandai oleh Repelita VI (1990-1995) sebagai proses era lepas landas.
b.      Nilai Laten
Apabila kita kaji sebenarnya nilai-nilai Pancasila tidak terbatas, dan apabila belum terungkap dalam permukaan, dalam kehidupan secara nasional, maka kewajiban kita semua untuk mengungkapkannya dalam permukaan, sehingga nilai-nilai tersebut tidak laten sifatnya. Nilai-nilai Pancasila yang belum terungkap jumlahnya tidak terbatas.
Memang di dalam penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disebutkan sebanyak 36 butir (4, 8, 5, 7, 12). Lebih lanjut petunjuk nyata dan jelas kelima sila itu tertuang pada naskah P-4 sebagai lampiran Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, dengan rumusan 45 butir (7, 10, 7, 10, 11) yang disarikan isi dari naskah tersebut sebagai berikut:
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
1.      Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME.
2.      Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan YME, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan YME.
4.      Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME.
5.      Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan YME yang dipercayai dan diyakininya.
6.      Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
7.      Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME, kepada orang lain.

Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
1.      Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan YME.
2.      Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit, dan sebagainya.
3.      Mengembangkan sikap saling mencintai sesame manusia.
4.      Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira.
5.      Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6.      Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7.      Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8.      Berani membela kebenaran dan keadilan.
9.      Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10.  Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
1.      Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
2.      Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3.      Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4.      Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5.      Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
6.      Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7.      Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
1.      Sebagai warga negara dan masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2.      Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3.      Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4.      Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5.      Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6.      Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7.      Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan.
8.      Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9.      Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan YME, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10.  Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayakan untuk melaksanakan permusyawaratan.

Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1.      Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
2.      Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3.      Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4.      Menghormati hak orang lain.
5.      Suka memberikan pertolongan pada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6.      Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
7.      Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8.      Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
9.      Suka bekerja sama.
10.  Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
11.  Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.

4.      Penerapan Nilai-nilai Pancasila
Bila dikaitkan dengan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebagai konsekuensi logis dari kesadaran kehendak, yang berawal dari dalam diri atau pengekangan dari dalam, maka akan menimbulkan:

a.       Rasa Keimanan
Kesadaran kehendak tentang rasa keimanan kepada Tuhan YME, bahwa ada sesuatu di luar manusia, yang menciptakan manusia dan segala isi alam semesta dan sekaligus memelhara dan mengataur ciptaan-Nya.
b.      Rasa Kemanusiaan
Kesadaran akan kehendak tentang kemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa manusia itu ingin selalu berhubungan. Manusia yang satu memerlukan manusia lainnya dan sebaliknya, maka manusia harus bermasyarakat (hidup bermasyarakat).
c.       Rasa Berbangsa/Kebangsaan
Bangsa Indonesia perlu hidup sejajar dan sederajat, dan berdampingan secara damai dengan bangsa-bangsa lain.
d.      Rasa Demokrasi
Bahwa pada dasarnya manusia secara sadar ingin diperhatikan dan ingin berperan dalam kelompok dan lingkungannya. Perasaan ingin memiliki dan berperan serta ini tercermin dalam rasa demokrasi.
e.       Rasa Keadilan
Rasa keadilan adalah bila dirasakan bahwa sesuatu yang menjadi milik orang lain diberikan kepada yang memang memilikinya, sebaliknya sesuatu yang menjadi milik kita pribadi diberikan kepada dirinya sendiri.

5.      Penerapan Sila-sila Pancasila
a.       Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Bahwa bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan YME, negara Indonesia berdasarkan pada Tuhan YME, maka dengan demikian Pancasila memuliakan agama. Segala perbuatan tanpa kehendak Tuhan YME tidak akan berhasil. Manusia merencanakan, Tuhan yang menentukan.
b.      Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila ini menunjukkan pengakuan, yaitu menempatkan manusia pada harkat dan martabat manusia. Harkat dan martabat ini yang berkaitan erat dengan hak-hak asasi manusia sekaligus dengan kewajiban-kewajiban asasi manusia.
c.       Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Fungsi dan peranan Pancasila tampak jelas dalam mempersatukan bangsa yang beraneja ragam (Bhinneka Tunggal Ika) yang perwujudannya adalah Bhinneka dalam gatra, Tunggal dalam karsa dan Ika dalam citra. Pernyataan nasionalisme dinyatakan dengan persatuan Indonesia.  Persatuan Indonesia atas dasar Ketuhanan YME dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
d. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Demokrasi yang sesuai dengan pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu musyawarah dan mufakat yang bersumber pada kekeluargaan dan gotong-royong, kebersamaan dan kemitraan. Bahwa hakikat musyawarah dan mufakat terdapat dalam perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat diakui dan dihargai, tetapi tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan seyogianya dapat diselesaikan dengan musyawarah untuk mendapat mufakat.
e.       Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan sosial adalah keadilan yang berlaku dalam hubungan manusia dalam masyarakat. Adil apabila memberikan hak kepada orang lain yang memiliki hak itu, dan sebaliknya memberikan hak kepada dirinya sendiri yang memiliki haknya, utuh tanpa cela.



BAB II
PENDIDIKAN PANCASILA
1.      Hakikat Pendidikan
Pada hakikatnya pendidikan adalah upaya masyarakat dan pemerintah untuk menjamin kelangsungan hidup warganya dan generasi penerusnya, secara bermakna dan mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa terkait dengan konteks budaya, bangsa, negara dan hubungan internasionalnya.
Dari bangsa Indonesia, warga negara kesatuan Republik Indonesia, diharapkan dalam berilmu pengetahuan menguasai teknologi dan atau kesenian hendaklah juga beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerja luhur, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap, mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakat dan kebangsaan.

2.      Dasar Pemikiran
Dasar ketetapan MPR No. II/MPR/1993 dirumuskan: Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos-kerja professional, bertanggung jawab dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.

3.      Kompetensi
Apabila kita artikan kompetensi sebagai pengikat tindakan intelejen, penuh tanggung jawab yang harus dimiliki oleh seseorang, sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang okupasi tertentu, maka kompetensi seseorang dengan wawasan Pancasila adalah seperangkat tindakan intelejen, penuh tanggung jawab seorang warga negara dalam memecahkan masalah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan pemikiran berlandaskan Pancasila. Dengan kata lain dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nasional, baik hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.                






BAB III
PEMBANGUNAN NASIONAL
1.      Makna Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan  tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam  pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah  Indonesia, memajukan kesejahteraan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosisal.

2.      Hakikat Pembangunan Nasional
Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu terarah dan terlanjut untuk meningkatkan  kemampuan nasional, agar  sejajar dengan bangsa-bangsa lain.        

3.      Asas Pembangunan Nasional
Asas pembangunan nasional adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME, demokrasi Pancasila, adil dan merata, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam kehidupan, hukum, kemandirian, kejujuran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang meliputi : bidang ideologi, politik, ekonomi, sosisal budaya dan hankam, sehingga melahirkan ketangguhan bangsa dan negara yang utuh menyeluruh, kukuh dan kuat.

4.      Wawasan Nusantara
Wawasan dalam penyelengaraan nasional adalah wawasan antara  mencapai tujuan pembangunan nasional dan bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan pengutamaan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara.
5.      Ketahanan Nasional
Ketahanan nasional untuk tetap menyakinkan berjalannya pembangunan nasional yang selalu harus menuju ke tujuan yang ingin dicapai, dan agar dapat secara efektif dan efisien dielakkan dari hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan yang timbul, baik dari luar maupun dari dalam. Maka pembangunan nasional yang diselenggarakan melalui pendekatan ketahanan nasional yang mencerminkan keterpaduan antara segala aspek kehidupan bangsa secara utuh dan menyeluruh. Ketahanan nasional adalah kondisi yang dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi yang dinamis yang merupakan integrasi dari kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara.
Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan nasional. Selanjutnya ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong pembangunan nasional. Ketahanan nasional meliputi ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankamnas. Ketahanan nasional adalah untuk mengelakkan diri dari hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan dari luar maupun dari dalam negeri.

6.      Aspirasi Manusia
Aspirasi manusia, biasanya berpangkalan dari pengalaman pahit yang dialaminya pada masa lampau, dan harapan-harapan yang diinginkan pada masa depan. Begitulah apabila kita melihat sejarah perjalanan bangsa Indonesia, aneka ragam kepahitan terutama selama masih dalam zaman penjajahan.
Indonesia menjadi  pelopor  melepaskan diri dari penjajahan terutama bagi negara-negara di Asia dan Afrika dan kemudian pelopor dari gerakan Non Blok bagi negara berkembang  lainnya.
Dengan keberhasilan atau berhasilnya bangsa Indonesia melepas diri dari belenggu penjajahan, tidaklah berarti semua akibat negatif dari peninggalan penjajahan dapat diatasi, di sana sini masih terasa akibatnya bagi bangsa Indonesia. Dalam hidup bemasyarakat yang adil dan makmur, aman, tertib dan sejahtera lahir dan batin.
Dari keadaan-keadaan yang demikian itulah timbul aspirasi manusia Indonesia dalam hidup bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yagn secara prinsip dituangkan di dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 pada alenia keempat dan dijabarkan secara operasional dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 di dalam batang tubuhnya.
Kemerdekaan adalah “jembatan emas”. Oleh sebab itu kemerdekaan perlu diisi dengan pembangunan sejak tahun 1968, Indonesia kita telah melaksanakan dalam Pelita demi Pelita. Dewasa ini kita telah memasuki Pelita VI Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJP II).
Apabila kita perhatikan secara seksama, mulai dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat, Garis-garis Besar Haluan Negara, Pola Dasar Pembangunan dan Repelita sampai dengan Pelita VI, pemerintah Orde Baru senantiasa konsisten dalam mengambil berbagai langkah kebijaksanaan dalam mengemban aspirasi manusia Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penerapan nilai-nilai Pancasila, besar artinya bagi pengelola pembangunan di Indonesia ini, namun tetap diharapkan bagi segenap lapisan masyarakat dan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan tersebut, peranannya,  yang lebih dan lebih meningkat baik kualitas maupaun kuantitasnya.
Pembangunan tidak akan berhasil apabila kita berpangku tangan saja atau berdiam diri, apatis, pasrah, tanpa melakukan sesuatu. Kita adalah subjek dan objek sekaligus sebagai penikmat dari hasil-hasil pembangunan itu.
Dengan demikian  kepada kita semua diharapkan dapat menempatkan diri terjun langsung memanfaatkan keahlian, kemampuan dan keterampilan yang dimiliki agar peranan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nasional, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan segala sesuatu implikasinya benar-benar menjadi kenyataan.
Menumbuhkan budaya menghormati orang yang lebih tua, budaya belajar, budaya ingin maju, budaya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan pranata budaya bangsa sesuai dengan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nasional.

7.      Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang merupakan pelaku subyek dan objek pembangunan nasional yang bertanggung jawab memperhatikan dan mengupayakan keserasian, keseimbangan dan  keselarasan dalam upaya mewujudkan kondisi manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia yang semakin maju dan berkembang, tentram dan sejahtera semakin dituntut kualitasnya. Keseimbangan, keserasian, keseimbangan dan keserasian yang mengandung pengertian bahwa masyarakat Indonesia tidak saja sebagai pelaku subjek dan objek pembangunan nasional sekaligus sebagai penikmat dengan hasil-hasilnya. Dengan demikian PJP II peranan manusia Indonesia harus lebih mendapatkan perhatian kita semua dalam perwujudannya secara lebih seimbang profesional sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Apabila postur dan profil manusia Indonesia dibentuk untuk memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka ciri-ciri yang harus dimilikinya (Alambai, 1995), adalah sebagai berikut :
1)      Insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
2)      Memiliki jiwa kejuangan, pengabdian dan motivasi yang tinggi.
3)      Memiliki tingkat kecerdasan, keterampilan, profesionalisme yang tinggi.
4)      Memiliki daya guna yang tinggi.
5)      Memilki tingkat kreativitas dan produktivitas yang tinggi.
6)      Memiliki disiplin dan tanggung jawab yang tinggi.
7)      Memilki kesehatan jasmani yang tinggi.
8)      Memilki rasa solidaritas  dan tanggung jawab sosial yang tinggi, dan
9)      Mampu menempatkan  dirinya secara serasi dengan  lingkungannya.

8.      Kemandirian
Peranan nilai-nilai Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       Aspek ideologi. Nilai-nilai Pancasila berperan menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri.
b.      Aspek politik. Nilai-nilai Pancasila berperan mendukung usaha-usaha pembangunan secara konstruktif.
c.       Aspek ekonomi, Nilai-nilai Pancasila berperan mendukung pembangunan nasional terutama atas kekuatan sendiri (mandiri).
d.      Aspek sosial budaya. Nilai-nilai Pancasila berperan sebagai nilai-nilai yang mendukung pembangunan nasional atas kekuatan sendiri.
e.       Aspek hankam. Nilai-nilai Pancarsila berperan  mengamankan setiap usaha pembangunan maupun hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan itu sendiri.
Dengan demikian, peranan nilai-nilai Pancasila terhadap manusia dan masyarakat Indonesia yang bersikap mental dan mampu:
a.       Memahami, menganalisis, menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsanya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita tujuan nasional yang diwujudkan dalam pembangunan nasional.
b.      Mampu menjadi manusia indonesia terlebih dahulu dilandasi keimanan dan ketakwaan, sebelum memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan manusia Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan manusia Indonesia yang menguasai teknologi tidak akan kehilangan jati dirinya (nilai Pancasila) apalagi tercabut dari akar budaya.

9.      Kinerja
Tuntunan ini sejalan dengan undang-undang nopmot 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan  Nasional dan peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1990 tentang pendidikan tinggi.
Barangkali yang lebih banyak dengan kalitan ketentuan tersebut tersebut, di sini adalah  peningkatan mutu. Proses mengajar tergantung pula pada raw input, material input, fasilitas berupa sarana prasarana dan wahana.
Kualitas dan peningkatan kualitas itu yang kita perlukan bukan memasalahkan kuantitas. Berbicara mengenai peningkatan kualitas dari sumber daya manusia itu,. Adalah kualifikasi dan nilai tambah, dengan perkataan lain kinerja atau perfoormance-nya, agar penuh penampilan dan bertanggung jawab.







BAB IV
WACANA KATA
Penerapan nilai-nilai Pancasila pada kehidupan nasional adalah:
1.      Penerapan Pancasila dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.      Penerapan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia dengan nilai-nilai Pancasila.
3.      Penerapan Pancasila sebagai ideologi negara, dalam usaha untuk memahami dan menghayati nilai-nilai Pancasila, sehingga disadari bahwa Pancasila adalah ideologi yang paling tepat pada bangsa Indonesia.
4.       Disadari bahwa masih banyak nilai-nilai Pancasila yang belum terungkap dipermukaan, masih bersifat laten, sehingga memerlukan pengkajian yang lebih mendasar.
5.      Pada dasarnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nasional adalah bermuara pada peradaban Pancasila yang disebut ”Sosio-reformasi moral”.




BAB V
KERANGKA PIKIR PANCASILA
1. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Pandangan hidup bangsa memiliki dasar yang bersifat tetap akan tetapi mampu berkembang secara dinamis, yang dimaksud dengan ideologi terbuka. Nilai yang terkandung dalam ideologi terbuka terdiri dari dua jenis, yaitu nilai-nilai dasar yakni tentang cita-cita, tujuan serta lembaga-lembaga penyelenggaraan negara utama, termasuk tata hubungan antar lembaga serta tugas dan wewenang yang bersifat tetap sepanjang zaman, dan nilai-nilai instrumental yang merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta lembaga pelaksanaannya, yang dapat disesuikan dengan perubahan zaman. Pengertian ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal.
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia
Dalam kaitannya dengan ideologi terbuka, nilai-nilai dasar instrumental dan praksis dapat dikelompokkan dalam :
1)      Dasar Negara
a.       Nilai dasar, Pancasila
b.      Nilai instrumental, Undang-Undang Dasar 1945
c.       Nilai praksis, Garis-garis Besar Haluan Negara.
2)      Undang-Undang Dasar Negara
a. Nilai dasar, Pola Dasar Pembangunan Undanguundang Dasar 1945
b. Nilai instrumental, Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945
c. Nilai praksis, pasal demi pasal.
3)      Pembangunan Nasional (GBHN)
a.       Nilai dasar, pola dasar pembangunan nasional, tentang dasar-dasar, tujuan dan nilai-nilai dasar
b.      Nilai instrumental, pola umum Pembangunan Jangka Panjang, tentang arah, strategi dan sasaran
c.       Nilai praksis, pembangunan lima tahun, tentang bidang, sektor dan anggaran
d.      Nilai-nilai dasar, instrumental dan praksis.
b. Nilai-Nilai Dasar, Instrumental dan Praksis
1)      Nilai Dasar adalah tentang cita-cita, ide-ide, konsep-konsep, gagasan-gagasan dan  tujuan.
2)      Nilai Instrumental tentang arahan, kebijakan, strategi, sasaran dan program lembaga pelaksanaan disesuaikan.
3)      Nilai Praksis, tentang operasional, realisasi, konkrit, nyata, wujud. Dilaksanakan dalam program bidang, sektor dan proyek serta anggaran.
c. Kerangka Pikir
1.      Pancasila
Filsafat Pancasila adalah usaha manusia melalui akal dan pengalamannya secara kritis, mendasar, integral dan radikal untuk menacari dan menemukan hakikat kebenaran atau kenyataan, baik mengenai segala sesuatu yang dihadapinya dengan menempuh proses deskripsi, komunikasi-komunikasi, sintesis dan evaluasi.
2.      Perilaku Manusia
Sebagai pandangan hidup bangsa kita, kita berbicara tentang nilai moral, sikap perilaku dalam kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat dan kehidupan berbangsa. Dikaitkan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai perwujudan dan cita-cita moral.
3.      Kesadaran Hidup Berbangsa
Dalam rangka persatuan dan kesatuan mengingat bangsa Indonesia adalah majemuk yang bersifat bhineka tunggal ika, maka diperlukan kesadaran dan kemampuan hidup berbangsa.
4.      Kesadaran Mencapai Kesejahteraan
Tentu saja dalam cita-cita bangsa dan negara yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tujuan nasional yang hendak dicapai adalah kesejahteraan sosial termasuk mencerdaskan kehidupan bangsa, keamanan dan persahabatan dalam kemampuan mencapai kesejahteraan tersebut, melalui pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
5.      Integritas Kedudukan Manusia
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam menciptakan alam dan segala isinya Tuhana tidak sekedar menciptakan begitu saja, akan tetapi terus memeliharanya ke arah yang dikehendaki-Nya.

6.      Sistem Nilai
Sistem dapat diartikan sebagai kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut suatu tata tertib pengaturan, guna mencapai maksud atau menunaikan suatu perenan tertentu.
7.      Operasional Pancasila
Operasional Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara dan ideologi nasional memberikan konsep dasar atau nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Operasional Pancasila ditunjukan kepada manusia Pancasila sebagai pribadi, warga negara, aparatur dan sebagai tenaga pembangunan.




BAB VI
BIDANG TATAR P 4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
1.      Pengantar Umum
Manusia dan pandangan hidupnya :
1. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Nilai-nilai luhur sebagai pandangan hidup dan sebagai kerangka acuan manusia.
3. Terbentuknya berbagai lembaga.
4. Fungsi lembaga sebagai instrumen, wahana, sarana.
5. Sebagai proses pandangan hidup bangsa.

2.      Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
1.      Bangsa adalah rakyat yang mempunyai tekat untuk membangun masa depan dengan mendirikan negara yang akan mengurus terwujudnya aspirasi dan kepentingan bersama secara adil.
2.      Hubungan antara pandangan hidup masyarakat,  bangsa, dan negara :
a. Terdapat hubungan timbal balik yang dinamis.
b. Dalam proses perumusannya, pandangan hidup masyarakat dituangkan dan dilembagakan menjadi pandngan hidup bangsa dan negara.
c. Pancasila sebagai Ideologi terbuka, yaitu mampu berkembang secara dinamis.
d. Negara Pancasila sebagai Negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
                  
3.      Latar Belakang Perlunya P-4
1. Pengamalan Sejarah Masa Lampau
Berbagai ideologi golongan sebelum orde baru menimbulkan perpecahan karena tidak sesuai dengan ideologi pancasila dan perlu dihindari. Kita harus menghindari diri dari pengaruh lebiralisme, sosialisme, komunisme, akstremisme, dan sekularisme serta materalisme.
Oleh sebab itulah Pancasila bagi bangsa Indonesia tetap dilestarikan dan dapat mempersatukan bangsa Indonesia, lebih-lebih menghadapi masa depan yang tidak menentu, tidak dapat diramalkan.
2. Tantangan Masa Depan
Dalam menghadapi masa depan, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
a. Generasi baru bangsa sebagai generasi penerus bangsadi masa depan.
b. Modernisasi, khusus pengaruh dari luar.
c. Semangat persatuan dan kesatuan dipulihkan dan dipikul agar tidak menjadi longgar.
d. Mewaspadai bahaya disintegrasi atau perpecahan.
e. Pemerataan pembangunan lebih ditingkatkan agar tidak adanya kesenjanga sosial.
f. Perlu adanya pendidkan politik bagi masyarakat agar mempunyai kesadaran politik yang tinggi.
g. Adanya keterkaitan dan kesepadaan dalam mewujudkan sumber daya manusia terutama dikalangan generasi muda.
h. Melaksanakan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan   konsekuen, baik secara tersurat maupun tersirat.

4. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
1. Kunci Pokok Memahami Sikap, Perbuatan dan Tingkah Laku
a. Sebagai tuntutan sikap, perbuatan dan tingkah laku.
b. Secara umum dapat dilakukan oleh manusia.
c. Menyadari bahwa manusia sebagai makhlluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
d. Dalam melakukan hubungan kepentingan pribadi dianggab sebagai kewajiban terhadap masyarakat.

2. Eka Prasetia Pancakarsa
       Pengamalan Pancasila perlu memperhatikan tuntunan dan pedoman P-4 ini, agar pelaksanaannya benar-benat berhasil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

5. Pola Pelaksanaan P-4
1. Pancasila sebagai Moral Pembangunan
a.       Unsur manusia sangat penting.
b.      Ia sebagai subjek dan objek sekaligus penikmat hasil pembangunan.
c.       Perlu adanya atolak ukur dan tujuan.
d.      Pembangunan dan pembangunan lahir dan batin, fisik dan non-fisik.
e.       Dalam pembangnan menjunjung martabat manusia.

2. Kemampuan dalam Pelaksanaan P-4
a.       Kemampuan seseorang untuk memimpin.
b.      1. Mengenal dengan baik situasi dan kondisi yang dipimpin.
2. Melihat jauh ke depan
3. Berfikir secara rasional
c.       Memiliki sifat dan jiwa kepemimpinan.
d.      Didasarkan pada pola kelembagaan

3. Pola Pelaksanaan P-4
a. Jalur dipergunakan adala jalur pendidikan, keluarga, sekolah, dan masyarakat.
b. Jalur media masa, baik tradisional maupun modern.
c. Jalur organisasi sosial dan politik.
d. Penciptaan suasana yang menunjang peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah.
e. Pimpinan masyarakat adalah seluruh strata dalam masyarakat.




BAB VII
MASALAH HAK ASASI MANUSIA BAGI BANGSA
INDONESIA
1.      Hak Asasi Manusia (Umum)
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar atau fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati, yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Dalam pengkajian tentang hak-hak asasi manusia, sejarah hak asasi manusia dimulai di Inggris dengan lahirnya Magna Charta (1215), yaitu perlindungan tentang kaum bangsawan dan gereja. Perkembangan hak asasi manusia di Eropa dan Amerika Serikat tidak dapat terlepas dari perkembangan pemikiran, terutama pada abad ke-17 dan 18, antara lain pemilihan John Locke, Lafayette, Montesquieu, Jean jaeques Rosseu, dan Thomas Jefferson di Amerika Serikat.
Setelah Perang Dunia II peristiwa yang penting dalam perkembangan hak-hak asasi manusia, adalah paham demokrasi (dari, oleh, untuk) rakyat dan peristiwa penting diakuinya hak-hak asasi manusia secara umum (universal), yaitu lahirnya “Universal Declaration of Human Right”sebagai pernyataan umum tentang hak-hak asasi manusia, pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris, yang memuat 30 pasal tentang hak asasi manusia.

2.      Hak Asasi Manusia di Indonesia dan Hak Asasi Warga Negara
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara kesatuan republik Indonesia, di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang fundamental bagi hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai perwujudan dan Pancasila (sumber dari segala sumber hukum) sebagai dasar negara, memuat ajaran tentang hak-hak asasi manusia.
Kalau kita menyimak pembukaan Undang-Undang Dasar 1945:
a.       Alinea pertama: mengandung pengakuan adanya hak asasi di samping kewajiban asasi. Hak asasi manusia baik perseorangan maupun sebagai bangsa berdasarkan martabat kemanusiaan dan keadilan.
b.      Alinea kedua: mengandung adanya pengakuan dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Perwujudan dan keinginan ini terkandung di dalamnya hak-hak asasi baik dalam bidang politik, ekonomi, dan bidang politik.
c.       Alinea ketiga: mengandung adanya pengakuan terkandung di dalamnya hak-hak asas beragama dan hak-hak asasi di bidang sosial dan bidang politik.
d.      Alinea keempat: lenih menjelaskan dan menekankan pengakuan hak-hak asasi pada alinea pertama, kedua dan ketiga (keterpaduan) karena alinea keempat menyimpulkan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban warga negara, yaitu bersama-sama berkewajiban mewujudkan tujuan nasional dalam segala bidang  baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam.
Hak dan kewajiban warga negara diatur secara khusus dalam pasal-pasal dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi warga negara adalah:
1.      Pasal 27 ayat 1 dan 2
2.      Pasal 28
3.      Pasal 29 ayat 2
4.      Pasal 30 ayat 1
5.      Pasal 31 ayat 1
6.      Pasal 33 ayat 1,2 dan 3
7.      Pasal 34

3.    Kebebasan Beragama Hak Asasi paling Mendasar
Paham kekeluargaan tidak membolehkan diskriminasi dalam bentuk apa pun dan tas dasar apapun. Kita tidak mempertentangkan antara mayoritas dan minoritas. Yang kita dambakan adalah adalah kerukunan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Memang dalam suatu masyarakat akan dapat terjadi benturan dalam kehidupan yang berkembang dan dinamis, namun kita tidak dapat membiarkan konflik itu timbul dan berkembang tanpa kendali. Kita usahakan penyelesaiannya dengan memperhatikan aspirasi dan kepentingan semua pihak. Penyelesaian yang adil dan dapat diterima oleh pihak, tanpa ada yang merasa menang atau merasa kalah, dan tidak ada yang merasa dimenangkan atau merasa dikalahkan.




BAB VIII
HAK-HAK ASASI MANUSIA DALAM PANCASILA
1.      Indonesia Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia selalu didasarkan kepada keserasian, keselarasan dan keseimbangan yang dilandaskan pada persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka stabilitas nasional dan ketahanan nasional.
Sejak proklamasi kita telah menjunjung hak asasi manusia bahkan telah mendahului piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang masalah ini. Tentu saja hak asasi manusia dalam pemahaman bahasa Indonesia, bukan dalam pandangan barat.
Kita menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan tolak ukur kita sendiri Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara-negara lain pun memiliki tolak ukur sesuai dengan kondisinya pula (relativisme cultural).

2.      Pandangan Indonesia tentang Hak Asasi Manusia
Pengertian dan persepsi hak asasi manusia harus memiliki keseimbangan. Artinya tidak hanya pengertian hak asasi manusia secara individu dan masyarakat dalam kehidupan sosial, melainkan harus pula melibatkan sector kehidupan politik, sosial dan ekonomi, demikian menurut Wirjono Sastrohandoyo (kompas 23 Januari 1993).
Untuk mencapai keseimbangan pengertian itu, Indonesia bekerja sama dengan komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan lokakarya tentang hak asasi manusia tanggal 26-28 januari 1993 di Jakarta untuk kawasan Asia Pasifik.

3.      Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Pelaksanaan hak-hak asasi manusia tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama dari orang lain.

4.      Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Warga Negara
Dalam pandangan barat, sejarah hak asasi manusia di mulsi di Inggris dan sejak revolusi Prancis sebagai akibat revolusi Amerika. Kebebasan dalam revolusi Amerika dikenal dengan kebebasan dalam bebas berbicara, bebas berkeinginan, bebas memeluk agama dan bebas dari rasa takut, dan di Prancis dikenal dengan semboyan kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.
Pada zaman modern sejarah hak asasi manusia tercantum dalam piagam: The Declaration of The Rights Man (1929), The Internasional Bill or Human Rights (1946) oleh Ecosoc Council (Perserikatan Bangsa-Bangsa). The Universal Rights Man mencapai titik puncaknya dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa "The Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948". Di Indonesia sebenarnya pernyataan asasi manusia ini telah mendahului piagam umum pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut di atas. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada taanggal 17 Agustus 1945 dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia mencantumkan dengan tegas tentang hak asasi manusia ini, baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

5.      Pelaksanaan Hak Asasi Manusia dalam Pancasila
Pelaksanaan hak asasi manusia dalam pancasila sebagaimana tersebut di atas yaitu dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
1.      Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
2.      Pasal 27 ayat 1: segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; dan pada ayat 2: tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3.      Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapakan dengan undang-undang.
4.      Pasal 29 ayat 2 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
5.      Pasal 30 ayat 1: tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.
6.      Pasal 31 ayat 1: tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan.
7.      Pasal 33 ayat 1: perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; dan pasal 33 ayat 2: cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; serta pasal 33 ayat 3: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran.
Hak asasi dapat dikelompokkan antara lain:
1.      Hak asasi pribadi (Personel Rights)
2.      Hak asasi ekonomi (Property Rights)
3.      Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Rights of Legal Equality)
4.      Hak asasi politik (Political Rights)
5.      Hak asasi sosial budaya (Social and Culture Rights)
6.      Hak asasi untuk mendapatkan tata cara peradilan dan perlindungan (Procedural Rights).
Hak asasi manusia tidak dapat dihapuskan karena hak asasi manusia itu karunia Tuhan Yang Maha Esa bukan anugerah penguasa. Hanya saja pemerintah/Negara berkewajiban mengatur, maka dengan demikian:
1.      Kebebasan menyatakan pendapat, adalah pendapat yang bertanggung jawab.
2.      Hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta memanfaatkannya.
3.      Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
4.      Hak untuk ikut serta dalam pemerintahan berarti harus memenuhi persyaratan dan kemampuan untuk ini. Ia sadar sebagai aparatur pemerintah, abdi Negara dan abdi masyarakat.
5.      Hak untuk memilih pendidikan berarti juga ada kewajiban untuk melaksanakan pendidikan.
6.      Hak asasi manusia mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan dan perlindungan.

6.      Beberapa Pandangan tentang Hak Asasi Manusia
Indonesia sebagai anggota remi Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah saatnya memperhatikan perjanjian-perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia terutama hak-hak dasar bidang ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan sudah saatnya perjanjian internasional yang menyangkut hak-hak sipil dan politik, lebih diberi jaminan dalam peraturan perundangan nasional (A. Gunawan Setiarja : Kompas tanggal 26 januari 1993).
Berikut ini pendapat Satjipto Rahardjo (Undip) dengan sisi pandang yang lain menyatakan untuk menuju dunia yang lebih damai dan bahagia, maka dalam permasalahan dan pelaksanaan hak-hak asasi manusia sebaiknya bangsa-bangsa di dunia bekerja sama, saling belajar dan tolong menolong.
Selanjutnya Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa yang menganggap Indonesia dan Negara-negara dunia ketiga (sedang beerkembang) memiliki persepsi lain atau yang berbeda tentang hak asasi manusia adalah keliru.

7.      Perbedaan Regional dan Nasional
Seluruh bangsa dan Negara di dunia sekarang ini menjunjung tinggi cita-cita luhur tentang hak-hak asasi manusia. Akan tetapi jelas akan terdapat perbedaan regional dan nasional dalam pemahaman, perkembangan dan pelaksanaan hak-hak asasi manusia itu. Hak ini wajar dan tidak dapat dihindari. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 semua pihak menyambut baik yaitu dengan adanya berbagai deklarasi regional dan nasional yang menampilkan wawasan karya sendiri.
Deklarasi regional dan nasional itu memberikan akar nasional yang kukuh terhadap asas-asas yang bersifat universal itu; bahkan dalam wawasan yang sama terdapat perbedaan antara Negara atau dengan Negara yang lain.

8.      Kerjasama Internasional
Meskipun prinsip-prinsip hak asasi manusia bersifat universal, dan standar-standarnya telah dirundingkan dan diterima pada level internasional, tetapi pertanggungjawaban dari implementasi dari norma-norma hak asasi manusia terutama diserahkan pada negara. Meskipun harus diakui bahwa prosedur dan mekanisme pelaksanaannya akan berbeda-beda.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah pernyataan hak asasi manusia internasional yang pertama. Sangat menarik untuk dicatatbahwa hak asasi manusia di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak di bawah Bab "Kerjasama Internasional", itu berarti peningkatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia harus dilakukan dengan semangat kerjasama dan saling menghormati serta dengan cara yang tidak konfrontatif (harian Kompas tanggal 29 Januari 1993).




BAB IX
MASALAH HAK ASASI MANUSIA BAGI BANGSA
INDONESIA
1.      Hak Asasi Manusia        
Pada awalnya hak asasi manusia hanya menekankan hak individu kemudian dalam perkembangannya harus juga diperhatikan hak-hak kolektif yang menyangkut keluarga, masyarakat dan berupa hak-hak kolektif, ini merupakan hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan, sebagaimana terealisasi dalam pernyataan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1984 dan 1986.
Masyarakat Barat sangat mengagungkan individualisme berhadapan dengan masyarakat Timur yang lebih menjunjung tinggi kolektivisme (kebersamaan). Perbedaan inilah yang menimbulkan persoalan atau masalah bagi hubungan antar bangsa atau negara. Hak asasi manusia itu pun perlu dilihat dalam konteks kebudayaan masing-masing baik menyangkut kelompok, etnis, rasa, agama, dan lain-lain.

2.      Masalah Hak Asasi Manusia di Indonesia
Undang-Undang Dasar negara kita dengan tegas mencantumkan tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak asasi warga negara, sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Indonesia adalah negara yang pertama memerdekakan dirinya melakukan perjuangan, kemudian disusul oleh negara-negara lain dari Asia dan Afrika, antara lain Aljazair dan Vietnam. Kemerdekaan adalah hak bangsa, karena sesuai dengan rasa keadilan dan rasa perikemanusiaan. Hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban warga negara, kita cantumkan bersama-sama dengan kemerdekaan (Proklamasi 17 Agustus 1945) dan sehari kemudian secara resmi pada Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
Masalah-masalah hak asasi pada waktu penyusunan Undang-Undang negara Indonesia pada dasarnya ada pertentangan dan pendapat dan prinsip pada waktu itu antara Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno berpendapat bahwa pemikiran tentang hak asasi manusia merupakan sumber individualisme dan liberalisme, karena sangat menekankan kepada kebebasan manusia sebagai individu. Sebaliknya Bung Hatta menganggap walaupun yang hendak kita bentuk adalah negara kekeluargaan, tetapi perlu juga ditetapkan beberapa hak warga negara supaya tidak sampai menimbulkan negara kekuasaan. Kita juga harus menjaga pandangan dari negara lain bahwa negara kita bersifat “cadaver” atau kekuasaan semata-mata. Kalau kita memperhatikan Undang-Undang Dasar 1945, maka setidak-tidaknya yang membicarakan masalah hak asasi manusia diantaranya yang mencakup hak-hak di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan pertahanan keamanan (bela negara) adalah jaminan Undang-Undang Dasar 1945 berkisar atas persamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan, dan atas pekerjaan yang layak. Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hak kebebasan beragama, hak mendapatkan perlindungan dan ancaman, hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, hak untuk melakukan usaha bersama, hak untuk mendapatkan jaminan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hak yang paling hakiki dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini adalah hak kebebasan beragama. Hak ini adalah hak individu yang langsung berhubungan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tanpa perantara ataupun direkayasa oleh penguasa.
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila inti atau sila kriteria mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta terwujud dengan berbagai agama yang diakui keberadaannya, maka hak ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Agama-agama yang diakui dan mendapat perlindungan di Indonesia adalah agama Islam, Katholik, Protestan, Budha dan Hindu Bali.
Pelaksanaan agama dalam negara Pancasila dilindungi agar sesuai dengan agama dan keyakinannya, dan menciptakan suasana kerukunan beragama dan toleransi keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kehidupan keagamaan dijamin.
Masyarakat mendambakan Komnas Ham dapat berperan sesuai dengan tujuan dan misi sucinya, dan tidak terasa dipaksakan atau seolah-olah direkayasa. Patut dicatat bahwa beberapa hak seperti hak atas pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan walaupun belum memuaskan sudah terealisasi melalui berbagai program-program pemerintah, seperti program wajib belajar sembilan tahun, adanya pusat-pusat kesehatan (puskesmas posyandu) telah tersebar ke pelosok-pelosok desa, masalah upah buruh minimal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Masalah-masalah yang dihadapi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan stabilitas politik yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan ekonomi kadang-kadang mengenyampingkan perhatian terhadap pemenuhan hak-hak kebebasan politik, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta mengeluarkan pendapat. Walaupun secara yuridis formal hak-hak tersebut sesungguhnya telah dijamin pada tingkat implementasi, hak-hak ini senyatanya belum dapat dioperasionalkan dan atau disosialisasikan.Bentuk ketidakadilan struktural lain adalah “penindasan politik”. Penindasan ini di dorong oleh adanya kepentingan-kepentingan dominasi dari penguasa dan penindasan ini akan semakin terasa bila reaksi-reaksi sosial politik dipandang akan menembus tembok-tembok kekuasaan. Isu yang berkembang dan marak misalnya masalah Kopri, SARA, LSM, demokrasi, perizinan pertemuan, jujur dan adil, kampanye, cegah dan tangkal, pelecehan, penghujatan agama, penghinaan dijadikan sebagai alat untuk melegalkan tindakan.

3.      Struktur Kekuasaan: Martabat Manusia dan Kesamaan
Situasi ekonomi, politik, dan sosial budaya di dalam negara seyogyanya tidak dijadikan alasan untuk menindak martabat dan kesamaan manusia tersebut melalui berbagai cara untuk pembenaran.
Masalah hak-hak asasi manusia, tampaknya kita dapat melepaskan diri dari pandangan negara-negara Barat mengenai demokrasi (individualisme dan liberalisme). Salah satu contoh adalah kasus IGGI yang terpaksa kita tolak kelanjutan bantuannya. Walaupun secara yuridis formal indonesia mencantumkan rumusan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945 namun pelaksanaannya belum merata.

4.      Manusia dan Masyarakat
Manusia berperan sebagai individu dan warga negara. Dikaitkan dengan individu maka manusia lebih mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya dikaitkan dengan warga negara lebih mengutamakan kepentingan bersama.
Dalam kehidupan bermasyarakat maka adanya pengekangan dari luar dan pengekangan dari dalam diri. Pengekangan dari luar berupa ketentuan-ketentuan (norma-norma) masyarakat dan sebalikya pengekangan dari dalam diri berasal dari adat atau kebiasaan berupa moral atau etik (nilai-nilai).
Apabila pelaksanaan hak-hak asasi dinilai sebagai belum memuaskan masih banyak terjadi pelanggaran hak itu, jelas karena adanya benturan-benturan, sehingga penerapannya belum dapat diharapkan sebagaimana mestinya. Masih banyak yang harus dilakukan untuk mengkonkretkan gagasan atau cita-cita penghormatan akan harkat dan martabat manusia, khususnya agar tetap tegaknya pelaksanaan hak-hak asasi sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sebaliknya di kalangan “tertentu” ada kecenerungan bahwa abdi masyarakat dibalikkan menjadi abdi penguasa. Memudarnya kebudayaan dikalangan masyarakat, kebebasan berserikat dan berkumpul tersendat-sendat. Dengan demikian perlu penyesuaian diri secara serasi, selaras dan seimbang dengan memperhatikan peraturan dan ketentuan, moral dan etik dalam sikap dan perilaku.

5.      Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia
Diatas telah diungkapkan bahwa pemerintah tidak akan berdiam diri saja dalam masalah hak-hak asasi manusia ini. Segala langkah dan upaya mengadakan perbaikan-perbaikan mengenai hal itu telah diambil walaupun dalam batas-batas tertentu, misalnya dengan adanya Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas Ham).
Memang komisi ini bukan alat pemerintah akan tetapi sebagai komisi menghimpun data dan peristiwa seperti Peristiwa 27 Juli 1996 yang lalu di Jakarta. Penyelesaian terakhir pada dasarnya pemerintahan sendiri. Pemerintah dapat meminta bukti-bukti temuan Komnas Ham akan tetapi tidak ikut campur tangan. Pemerintah tidak ikut campur terhadap Komnas Ham, Lembaga ini adalah lembaga yang mandiri, bukan lembaga pemerintah.
Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia dapat memberikan bukti-bukti terhadap temuannya yang terjadi kepada pemerintah, yang berkaitan dengan sesuatu peristiwa apabila diminta atau diperlukan untuk penyelesaian atau tindak lanjut.
Komnas Ham dibentuk pada tahun 1993 yang diketuai Ali Said, S.H dengan anggota 25 orang. Sebagai lembaga mandiri, masyarakat mengharapkan agar komnas HAM benar-benar menemukan identitasnya sebagai lembaga yang benar-benar bebas dari pengaruh luar, tidak ada pengaruh dari pihak mana pun juga.





BAB X
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian sebelumnya dapat diambil beberapa pemikiran sebagai kesimpulan, antara lain:
1.    Dalam membicarakan masalah hak-hak asasi manusia di Indonesia, tampaknya kita    belum dapat melepaskan diri dari pandangan negara-negara Barat mengenai demokrasi.
2.    Masalah dan pemecahan masalah hak asasi manusia di Indonesia tampaknya masih rumit dan kompleks sebagai akibat warisan penjajah.
3.    Walaupun secara yuridis formal Indonesia telah mencantumkan hak asasi manusia dalam UUD 1945, namun dalam pelaksanannya hak-hak tersebut masih belum dimiliki oleh seluruh warga negara secara merata.
4.    Diperlukan penjabaran rinci, dalam suatu perundangan agar rakyat dapat memiliki hak-haknya.
5.    Kemauan politik pemerintah dan dukungan kekuatan-kekuatan/kelompok-kelompok sosial politik yang ada akan memudahkan rakyat memiliki hak-haknya.
Pada akhirnya pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia, baik masalah pemecahannya yang harus diperhatikan adalah bahwa disamping hak-hak asasi, terdapat juga kewajiban-kewajiban asasi. Hak-hak asasi manusia dilaksanakan selaras dengan pemenuhan kewajibannya sebagai warga negara terhadap masyarakat, bangsa dan negara.
 Widjaja, H.A.H. 2004. Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta